Elemen Jurnalisme Yang Harus Anda Ketahui


oleh : Anif Syaiban

Hati nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach.Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach.Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelahCommittee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana?Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi.Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional.Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional.Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat.Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah.Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah.Hakim bisa keliru.Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah.Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme.Bukan kebenaran dalam tataran filosofis.Tapi kebenaran dalam tataran fungsional.Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar.Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan.Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas.Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban.Mungkin ada koreksi.Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan.Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar.Makan waktu, prosesnya lama.Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup.Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya?Pada perusahaannya?Pada pembacanya?Atau pada masyarakat?”

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja.Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka.Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga.Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat.Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
  • Jangan menambah atau mengarang apa pun
  • Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar
  • Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase
  • Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri
  • Bersikaplah rendah hati.
Jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja.Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.

Elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita).Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme.Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas.Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Elemen jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman.Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.”Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi.Ada yang memakai istilahadvocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini.Padahal hasil investigasi bisa salah.Dan dampak yang timbul besar sekali.Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius.Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi.Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar – mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan.Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat.Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang.Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional.Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka.Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik.Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang.Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan.Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan.Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca.Pemilihan berita juga sangat subjektif.Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Setiap wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri.Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial.Ini elemen yang kesembilan.Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks.Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini.Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

About Ahmad Dahlan II UMS

Ahmad Dahlan II UMS
Recommended Posts × +

0 comments:

Post a Comment